Geliat Penolakan Gelar Pahlawan untuk Soeharto di Ciputat
Ciputat lagi-lagi menjadi tempat di mana sejarah dibongkar, ditafsir ulang, dan diperdebatkan secara terbuka. Dalam beberapa minggu terakhir, kawasan ini dipenuhi geliat diskusi yang menolak pemberian gelar Pahlawan kepada Soeharto.
Penolakan itu tidak muncul dari ruang kosong, tetapi tumbuh dari kultur intelektual yang sudah lama mengakar: ruang diskusi yang hidup, kampus-kampus yang kritis, dan komunitas anak muda yang tidak puas menerima narasi sejarah secara mentah.
Salah satu forum yang ikut mendorong gelombang kritik ini adalah acara bertajuk “NU, PNI, dan Kekerasan Orde Baru”, yang digelar pada 7 November 2025 di Outlier Café Ciputat.
Acara ini menghadirkan empat figur penting dari disiplin dan generasi berbeda: Savic Ali (Ketua PBNU dan founder Islami.co), Bonnie Triyana (Sejarawan dan anggota DPR RI), Hairus Salim (Budayawan), dan Lily Faidatin (Aktivis Gen Z NU).
Susunan pembicara ini menunjukkan bahwa kritik terhadap Orde Baru tidak hanya datang dari aktivis, tetapi juga dari lingkar intelektual NU serta para peneliti yang menekuni sejarah Indonesia modern.
Diskusi tersebut berfokus pada hubungan NU dan PNI pada masa-masa awal Orde Baru, serta bagaimana kekerasan politik menjadi fondasi penting bagi stabilitas semu yang dibangun rezim.
Para pembicara menekankan bahwa cerita kelam mengenai pembungkaman masyarakat sipil, operasi militer yang tidak akuntabel, dan represi politik merupakan bagian dari memori yang tidak boleh dipoles ulang hanya demi kepentingan simbolik seperti gelar kepahlawanan.
Geliat ini bertemu dengan gelombang penolakan serupa yang diperlihatkan dalam forum lainnya di Ciputat, seperti acara “Diskusi Publik & Pernyataan Sikap: Tolak Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto” yang digelar sehari kemudian.
Dengan menghadirkan tokoh HAM seperti Yuniyanti Chuzaifah dan aktivis reformasi Ray Rangkuti, forum tersebut menjadikan ingatan kolektif korban dan pengalaman kelam Orde Baru sebagai dasar moral untuk menolak pemberian gelar tersebut.
Namun, ironi sejarah justru terjadi. Per 10 November 2025, pemerintah secara resmi menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Alih-alih meredam kritik, keputusan ini justru menyulut respon cepat dari masyarakat Ciputat.
Berbagai komunitas intelektual, jaringan mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil langsung mengonsolidasikan aksi nyata. Respons itu kemudian terwujud dalam seruan aksi “Tolak Gelar Pahlawan Suharto” yang digelar pada 14 November 2025 di depan Istana Negara.
Kedua kegiatan yang dilanjutkan dalam bentuk aksi demonstrasi ini memperlihatkan bahwa kawasan Ciputat bukan hanya ruang akademik, tetapi juga arena di mana keberanian untuk mempertanyakan kembali narasi besar bangsa.
Ciputat menunjukkan bahwa ingatan tidak boleh dipaksa diam. Bila sejarah ingin dijaga dengan jujur, maka suara penolakan seperti ini perlu terus hidup. Dan di Ciputat, suara itu tampaknya tidak akan padam dalam waktu dekat.
Sahabat Muhamad Farhan Subhi
Kader PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Perguruan Tinggi Umum Cabang Ciputat
Editor: Sahabati Fauziah Nur Hasanah

