Loading Logo

Memuat...

Artikel 10 December 2025 2 weeks ago 18 kali dibaca

Islam dan Kebudayaan: Harmoni Wahyu dan Karya Manusia

Islam dan Kebudayaan: Harmoni Wahyu dan Karya Manusia
Oleh: Sultan Jibril Al-farizy
 
Islam sering dipahami sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan semata. Padahal, dalam praktik kehidupan, Islam juga hadir dalam ruang sosial dan kebudayaan manusia. Sejak awal kemunculannya, Islam tidak pernah hadir di ruang hampa budaya. Ia turun di tengah masyarakat Arab dengan tradisi, nilai, dan sistem sosial tertentu, lalu melakukan proses seleksi, koreksi, dan penyempurnaan terhadap kebudayaan tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa hubungan antara Islam dan kebudayaan manusia bukanlah hubungan yang saling meniadakan, melainkan saling membingkai dan mengarahkan.
 
Islam mengakui bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Dalam Al-Qur’an, manusia disebut sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di bumi), yang berarti manusia diberi mandat untuk mengelola peradaban, termasuk dalam aspek kebudayaan. Kebudayaan sendiri merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia sebagai respons terhadap tantangan kehidupan. Karena itu, kebudayaan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia, dan Islam hadir sebagai nilai transendental yang memberi arah agar kebudayaan tidak menyimpang dari tujuan kemanusiaan.
 
Sejarah membuktikan bahwa Islam tidak serta-merta menghapus budaya lokal ketika masuk ke suatu wilayah. Di Nusantara, misalnya, para wali dan ulama terdahulu menyebarkan Islam melalui pendekatan kebudayaan. Wayang, gamelan, sastra, hingga tradisi sosial digunakan sebagai media dakwah. Islam tidak menolak bentuk budayanya, tetapi mengisi ruhnya dengan nilai tauhid, akhlak, dan keadilan. Inilah yang melahirkan wajah Islam Nusantara yang ramah, toleran, dan berakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
 
Namun, penting dipahami bahwa tidak semua kebudayaan dapat diterima begitu saja dalam Islam. Islam memiliki batas nilai yang tegas. Kebudayaan yang bertentangan dengan prinsip tauhid, merusak akhlak, menzalimi manusia, atau menghilangkan harkat kemanusiaan, tidak dapat dibenarkan. Di sinilah Islam berperan sebagai filter peradaban, bukan sebagai penghambat kreativitas budaya. Islam menerima budaya yang sejalan dengan nilai kemanusiaan dan menolak budaya yang merusak martabat manusia.
 
Dalam konteks modern, relasi Islam dan kebudayaan semakin kompleks. Globalisasi menghadirkan budaya instan, hedonisme, dan individualisme yang sering kali bertabrakan dengan nilai-nilai keislaman. Media sosial turut membentuk budaya baru dalam beragama: simbolisme lebih dominan dibanding substansi, ekspresi lebih ditonjolkan daripada etika. Fenomena ini menuntut umat Islam untuk tidak hanya bersikap reaktif, tetapi juga reflektif dalam memaknai perubahan budaya.
 
Islam sejatinya memiliki kekuatan besar untuk membangun kebudayaan yang beradab. Nilai kejujuran, keadilan, kesederhanaan, persaudaraan, dan tanggung jawab sosial adalah fondasi utama peradaban manusia yang bermartabat. Ketika nilai-nilai ini dihidupkan dalam praktik sosial, maka Islam bukan hanya menjadi identitas ritual, tetapi juga menjadi energi moral dalam membentuk kebudayaan yang manusiawi.
 
Dengan demikian, Islam dan kebudayaan manusia adalah dua realitas yang tidak dapat dipisahkan. Islam bukan musuh kebudayaan, dan kebudayaan bukan ancaman bagi Islam selama berada dalam koridor nilai tauhid dan kemanusiaan. Justru di titik inilah Islam menunjukkan wajah sejatinya sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya dalam aspek ibadah, tetapi juga dalam dinamika peradaban manusia.
Bagikan Artikel:

Artikel Lainnya